Ekonomi Syariah untuk Kesejahteraan Bersama

Ekonomi Syariah untuk kesejahteraan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Gerakan Ekonomi Syariah

Garda terdepan untuk membumikan ekonomi syariah.

Menimbang Dampak Bagi-Bagi Dana dan Pemberdayaan

 


 

Menimbang Dampak Bagi-Bagi Dana dan Pemberdayaan

Penulis: Anggita Nurcahyani

 

Pemerintah sudah membuat kebijakan serius untuk meningkatkan daya beli masyarakat selama pandemi melalui program bantuan dana sosial dengan anggaran dana yang sangat besar. Namun kemampuan daya beli masyarakat belum juga pulih, terlihat hasil yang dicapai justru berbalik dengan apa yang menjadi tujuan. Hal ini bisa dilihat dari data yang dirilis oleh Bank Indonesia pada 1 Februari 2021 bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Januari sebesar 0,26% (mtm) adalah lebih rendah dari bulan sebelumnya yaitu 0,45% (mtm). Sehingga wajar jika kita bertanya-tanya apakah bantuan berupa dana yang telah digulirkan bisa berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat?

Bantuan yang diberikan berupa dana sebenarnya belum tentu akan menyelesaikan suatu persoalan. Apalagi jika bantuan yang diberikan habis dalam sekali pakai atau hanya bersifat insidental. Pemerintah perlu mempertimbangkan keberlanjutan dari setiap program yang dirancang. Hal tersebut dilakukan agar berdampak bagi masyarakat untuk jangka waktu yang panjang bukan hanya sesaat.  Apalagi biasanya pemerintah seringkali memberikan bantuan dengan cara memobilisasi masa. Tentunya tidak akan selesai suatu permasalahan jika diatasi hanya dengan dengan mengumpulkan, diberikan bantuan, lalu kembali pulang, tanpa diperhatikan bagaimana keberlanjutannya.

Sangat disayangkan jika masyarakat dianggap akan sejahtera jika sudah diberikan bantuan berupa dana. Sudah bukan rahasia umum jika bantuan dana sosial yang disalurkan oleh pemerintah selama covid-19 menghadapi berbagai persoalan.. Banyak kasus yang dikeluhkan oleh penerima bantuan, terdapat diantara mereka yang tidak menerima bantuan dengan utuh. Ironisnya lagi, penyelewengan dana bansos malah dilakukan oleh kementerian terkait. Betapa mirisnya negeri ini. Ketika rakyatnya sedang kesusahan tetapi ada pihak yang mencari untung dibalik kesengsaraan.

Sebaiknya pemerintah saat ini dapat belajar dari kekurangan pemerintahan di masa lalu yang selalu mengelola program yang bersifat top down. Mulai dari membuat kebijakan, perencanaan program, pelaksanaan, sampai tahap evaluasi hanya diambil alih oleh pemerintah secara sepihak. Sedangkan masyarakat sama sekali tidak dilibatkan. Padahal masyarakatlah yang akan merasakan dampak dari program yang dirancang.

Disisi lain masih terlihat risiko ketika pemerintah giat menyalurkan dana tetapi lengah terhadap pengawasan. Selama ini pemerintah selalu terkendala oleh data yang berakibat kepada kurang tepatnya sasaran. Sehingga yang tadinya bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan justru akan menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu, karena masyarakat yang dijadikan sasaran sebagai penerima manfaat, akan lebih baik jika masyarakat terlibat langsung dalam setiap program yang dibuat oleh pemerintah. Salah satunya adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui program pemberdayaan yang bersifat partisipatif.

Cook dan Macaulay (1997) mengemukakan konsep pemberdayaan terencana ke dalam konsep ACTORS, yaitu; Autority (kewenangan), Confidence and Competence (Percaya Diri), Trust (Keyakinan), Opportunities (Kesempatan), Responsibilities (Tanggung jawab), Support (dukungan). Masyarakat bukan hanya disumbangi program secara fisik saja, tetapi juga memberikan kontrtibusi yang akan berdampak langsung bagi kehidupan mereka. Sehingga output yang dihasilkan pun dapat langsung terukur karena masyarakat sendiri yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan program.

Program pemberdayaan semacam itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh lembaga sosial. Dimana suatu lembaga membuat program yang langsung melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan tahap evaluasi. Masyarakat merupakan pemeran utama ketika melaksanakan program pemberdayaan. Sehingga suatu lembaga akan menitikbertkan partisipasi masyarakat dibandingkan hanya dengan memobilisasi.

Hal itulah yang menjadi kendala pemerintah saat ingin melaksanakan program pemberdayaan. Pemerintah terkadang masih kesulitan membedakan antara program mobilisasi dan partisipasi. Alih-alih membuat masyarakat mandiri justru menyebabkan ketergantungan dan akan terus mengharapkan bantuan. Di sisi lain faktanya, tidak sedikit Lembaga sosial yang berhasil dalam melaksanakan program pemberdayaan melalui pendekatan bottom up, yaitu dimana seluruh program diserap dan dimulai dari bawah.

Sebagai contoh lembaga sosial di Banten yang konsisten mengembangkan pola pemberdayaan adalah LAZ Harfa. Melalui model pemberdayaan yang partisipatif, ia banyak berhasil memicu kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan, bahkan tanpa diberikan bantuan dana. Perubahaan yang muncul dari keinginan di dalam dirinya terbukti akan lebih bertahan lama dampaknya, karena ketika kesadaran sudah dipicu. Masyarakat akan sadar bahwa mereka dapat berdaya dari apa yang mereka punya. Bukan hanya dengan memberikan donasi lalu kemudian pergi tanpa terjadi perubahan yang berarti.

Dalam prakteknya sulit bagi pemerintah untuk dapat melakukan program pemberdayaannya sendiri di lapangan. Akan lebih baik jika pemerintah dapat berkolaborasi dengan lembaga sosial yang sudah terbukti keberhasilannya. Terlebih jika mampu bersinergi bersama komunitas di masyarakat. Terbukti tidak sedikit peran lembaga non-pemerintah yang beraksi strategis dan sangat membantu menjalankan fungsi pemerintah. Misalnya pembangunan infrastuktur dan sosial di pelosok yang tak terjangkau pemerintah, sebut saja jembatan oleh Relawan Kampung dan pendampingan kesehatan lingkungan oleh LAZ Harfa. Bukankah di saat pemerintah gugup mengadapi bencana tsunami, banjir dan gempa, lembaga-lembaga zakat selalu hadir di garda terdepan dalam hal advokasi hingga recovery. Tak elok berjalan sendiri, karena sudah eranya bersinergi dalam beraksi.

Apabila pemerintah memiliki dana yang besar, ada baiknya dana tersebut tidak semua secara langsung diberikan kepada masyarakat tetapi dapat melibatkan lembaga sosial yang kemudian akan disalurkan dengan pola pemberdayaan. Dengan begitu pemerintah tidak akan gagap data, karena masing-masing lembaga sosial sudah memiliki data penerima manfaat yang akurat di wilayah binaannya. Melalui strategi seperti itu kemungkinan akan mengurangi risiko seperti tidak tepatnya sasaran, adanya kecurangan penyaluran dana, dan kesulitan mengukur keberhasilan program bansos.

Program bantuan dana dan pemberdayaan akan secara bersamaan berdampak baik jika dilaksanakan secara tepat dan bersinergi. Kedua program tersebut akan memiliki pengaruh positif bagi masyarakat apabila penyalurannya direncanakan dengan matang dan melibatkan stakeholder yang kredible dan dekat dengan masyarakat. Bukankah uang bisa membantu permasalahan, tetapi tidak semua permasalahan selesai hanya dengan uang?. Jika demikian, sudah dipastikan perlu adanya keseimbangan antara donasi dan aksi. (Penulis adalah Biro Kesekretariatan MES Banten dan Trainer Visi Intelegensia)

Jihad Ekonomi Ala Arif Kirdiat


Muhammad Arif Kirdiat atau yang biasa dipanggil Arif Kirdiat dikenal sebagai Arsitek Jembatan Kampung di Indonesia. Beliau juga tergabung menjadi salah satu pengurus di organisasi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wilayah Banten.


Baru-baru ini dalam sebuah akun media sosialnya (https://www.facebook.com/muhammad.a.kirdiat) telah memposting kisahnya mengenai kebiasaan berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Perilaku yang sangat jarang ditemui di era ini, patut kita contoh dan ajarkan kepada umat lainnya untuk membiasakan mendukung kebangkitan ekonomi umat.

Berikut postingan kisahnya;

Kalau nemenin isteri belanja kebutuhan sehari-hari, pertama yang dikunjungi adalah 212 Mart atau Muslim Market Aisyiyah. Kedua toko ini ada di Ciracas,  agak jauh memang dari rumah... tapi ini perjuangan kecil untuk turut memajukan ekonomi ummat.

Jangan membandingkan toko milik ummat dengan jaringan ritel Indomaret atau Alfamart yang sudah menggurita hingga belasan ribu toko.

Wajar kalau perjalanan toko milik umat harus tertatih dalam gelanggang perekonomian. Baru muncul puluhan, eh sudah harus tutup belasan. Hal ini sama saja dengan jaringan ritel yang juga harus tutup di beberapa tempat.

Intinya jangan lelah dan harus rajin berinovasi serta promosi berkelanjutan.
Jika di toko tetangga dan toko ummat tidak ada barangnya, baru saya dan isteri ke supermarket lainnya. #JihadEkonomi

Mari ikuti langkah Arif Kirdiat untuk mendukung dan membeli produk-produk muslim. (Admin)

Kisah Johari Zein, Pendiri JNE yang Memutuskan Jadi Mualaf

 Sumber : https://www.viva.co.id/ By


Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan layanan pengiriman paket JNE. Tapi tahu tidak kalau pendiri JNE itu adalah seorang mualaf? Pasti banyak yang tidak tahu seperti apa kisah Islamnya sang bos JNE. Kalau ingin tahu, simak kisahnya berikut ini sampai tuntas!
Beliau adalah Johari Zein atau Djohari Zein yang tak lain merupakan pendiri PT Jalur Nugraha Ekakurir atau lebih kita kenal sebagai JNE. Dia dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tahun 1954 dari keluarga pedagang Tionghoa.
Keluarganya menganut agama Budha dan Johari pernah disekolahkan di sekolah Katolik. Kemudian pada tahun 1982, dia menemukan Islam dan memutuskan jadi mualaf. Sejak saat itu Al-Quran dijadikan petunjuk hidupnya.
Tidak diceritakan secara detail apa yang membuat Johari memutuskan masuk Islam. Namun yang jelas dia sudah menemukan kebenaran dalam Islam hingga membuat hatinya terketuk untuk memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini.
Jiwa wirausahanya sudah mulai terlihat sejak usianya baru 12 tahun ketika ia pindah bersama keluarganya ke Jakarta pada tahun 1966. Johari yang waktu itu masih SMP suka menjual majalah ke teman-temannya. Usahanya ini terus berlanjut sampai SMA.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Akademi Perhotelan Trisakti. Setelah lulus, Johari langsung bekerja di Hilton International Hotel. Kemudian pada tahun 1980, Johari pindah pekerjaan jadi salesman perusahaan jasa pengiriman multinasional, TNT.
Beberapa tahun kemudian, Johari dipromosikan menjadi Operation Manager TNT Indonesia. Namun di puncak karinya, ia justru meninggalkan TNT dan memilih berwirausaha.

Misi Mendirikan 99 Masjid


Pada tahun 1985, ia merintis perusahaan jasa pengiriman bernama Worldpak yang kemudian berganti nama jadi Pronto. Lalu pada tahun 1990 seluruh sahamnya di Pronto ia jual. Kemudian ia mendirikan PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).
Pada awal-awal berdirinya JNE, Johari sudah delapan tahun memeluk Islam. Ia percaya apa yang dilakukannya yaitu demi kebaikan, demi membantu orang yang lebih membutuhkan.
Pernah suatu ketika Johari berdoa di Masjidil Haram ketika melaksanakan ibadah umrah pada tahun 2009 lalu. Dia memohon kepada Allah agar diizinkan mendirikan masjid.
Kemudian Johari mendapatkan jawaban melalui mimpi, “jangankan satu, 99 masjid pun diizinkan”. Kira-kira seperti itulah jawaban dalam mimpinya.
Bagi Johari, itu bukan sekedar mimpi biasa, melainkan sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Kemudian bulatlah tekad Johari untuk mendirikan 99 masjid. Setiap masjid akan diberi nama sesuai Asmaul Husna.
Dari tekad itu, berdirilah Johari Zein Foundation yang mulai didirikan pada 3 Mei 2017. Tujuan yayasan ini yaitu untuk membangun 99 masjid di 8 penjuru dunia.
Tak hanya bertekad membangun masjid saja, Johari juga aktif dalam melakukan kegiatan amal lainnya, seperti membantu fakir miskin dan anak-anak yatim. Baginya, beramal adalah kewajiban setiap Muslim yang wajib dilaksanakan karena itu diperintahkan dalam Al-Quran.
Semoga kisah mualaf bos JNE di atas bisa menginspirasi kita semua bahwa kekayaan itu bukan digunakan untuk bermewah-mewahan, melainkan untuk membantu orang yang membutuhkan. Kita Islam itu jangan berguna untuk diri sendiri saja, tapi harus berguna bagi orang banyak.